Contohlain hadits yang tidak memenuhi kriteria perawinya semua adil dan dhobith adalah hadits berikut ini, yaitu hadits yang mengandung perawi yang lemah (tidak dhobith) dan majhul (tidak dikenal). Hadits Ali tentang bersedekap di bawah pusar saat sholat dalam Sunan Abi Dawud:

— Rawi menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah hadits, secara singkat pengertian rawi yaitu periwayat atau penyampaian hadits. Sahabat muslim pasti sudah mengetahui, bahwa hadits menjadi salah satu pedoman yang harus diamalkan oleh umat Islam. Sama pentingnya dengan Al-Qur’an, hadits berisi penjelasan lebih rinci mengenai ayat-ayat dalam Al-Qur’ rawi Hadits berisi sabda Rasulullah dan beberapa firman Allah yang dikenal sebagai hadits qudsy. Sebelum dibuat menjadi hadits tertulis, semua ucapan Rasul pada zaman dahulu langsung dihafalkan dan diamalkan oleh umat Islam. Seiring perkembangan zaman, para sahabat mulai membukukan hadits dengan mencatat semua sabda, orang-orang penyampai haditslah yang disebut dengan rawi. Pengertian Rawi Pengertian rawi menurut bahasa yaitu meriwayatkan, sedangkan menurut istilah rawi adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits secara lisan maupun tulisan, asalkan hadits tersebut didengar langsung dari gurunya. Seorang perawi pun harus memiliki kecerdasan yang tinggi serta kejujuran, karena akan mempengaruhi hadits yang disampaikan. Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadits, tentunya ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits. Karena nantinya hadits akan menjadi sebuah pedoman hidup umat muslim setelah Al-Qur’an. Proses periwayatannya pun tidak mudah, melalui proses yang panjang serta memakan waktu lama. Syarat Wajib Rawi Ada beberapa sifat wajib yang harus dimiliki seorang rawi agar bisa meriwayatkan hadits shohih. Seperti yang sahabat muslim ketahui bahwa hadits memiliki tingkat validnya tersendiri, yaitu hadits shohih, hasa, dan dhoif. Berikut ini beberapa sifat wajib seorang rawi Adil Adil di sini berbeda dengan perilaku adil dengan sifat istiqamatuddin dan al-muru’ah. Istiqamatudiin adalah menjalankan semua kewajiban sebagai seorang muslim yang baik, serta menjauhi segala maksiat yang berujung kefasikan. Sedangkan al-muru’ah menjalankan akhlak terpuji dan tidak membuat orang lain mencelanya, inilah yang disebut adil. Muslim Pada zaman dahulu banyak orang kafir yang ingin mengacaukan periwayatan hadits, maka dari itu sebelum meriwayatkan hadits, seorang rawi harus dipastikan kemuslimannya. Bahkan seorang muslim yang fasik pun diragukan periwayatannya dan bisa disebut kafir, hal tersebut telah Allah firmankan dalam Qs. Al-Hujurat 6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kecerobohan, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” Baligh Syarat ketiga seorang rawi yaitu baligh, jadi periwayatan atau kesaksian seorang anak yang belum baligh tetap saja tidak mendapat validasi, sekalipun bisa jadi kesaksiannya itu benar. Pada zaman sahabat, ada banyak anak muda yang memperdalam ilmu agama bersama para syekh. Untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits, mereka harus menunggu sampai usianya baligh. Berakal Seorang rawi yang hendak meriwayatkan hadits tentunya harus berakal, tidak dalam keadaan sakit mental. Kondisi tidak sepenuhnya sadar setelah bangun tidur juga bisa dibilang tidak berakal, karena periwayatan hadits memang sangat ketat. Tidak Berdosa Besar Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, seorang rawi harus memiliki sifat adil dalam pandangan islam. Rawi juga tidak boleh memiliki catatan dosa besar seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain. Karena hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas ucapannya. Tidak Sering Berdosa Kecil Selain tidak pernah melakukan dosa besar, seorang rawi juga tidak boleh melakukan dosa kecil. Seseorang yang taat agama pasti akan mejauhi dosa besar maupun kecil sebisa mungkin, rawi seperti inilah yang dapat meriwayatkan hadits shohih. Dhabit Dhabit memiliki dua kriteria, yaitu dhabit kuat hafalan di mana seorang rawi memiliki daya ingat yang tinggi dan tidak mudah lupa. Sedangkan dhabit yang kedua, yaitu kemampuan memelihara alkitab yang diberikan oleh gurunya, tidak ada ada perubahan sedikit pun yang dilakukan oleh rawi. Tingkatan Rawi Tidak semua rawi dapat memenuhi syarat wajib yang disebutkan di atas, maka dari itu terciptalah tingkatan rawi. Bahkan untuk mengenali dan mengidentifikasi sifat para rawi pun ada ilmu, yaitu ilmu thabaqah. Dengan mempelajari ilmu tersebut, para ahli hadits akan memudahkan penelitian suatu sanad dalam hadits. Tingkatan tersebut biasanya diklasifikasikan berdasarkan kriteria para rawi serta zaman kehidupannya. Sehingga rawi yang dihasilkan berbeda-beda, juga dapat mempengaruhi kualitas hadits yang diriwayatkannya. Berikut ini tiga tingkatan hadits dan para perawi yang mendudukinya Tingkat Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan Aisyah meriwayatkan Annas bin Malik meriwayatkan dll. Tingkat Tabiin Umayyah bin Abdullah bin Khalid, Sa’id bin Al-Musayyab, dll. Tingkat Mudawwin Bukhari, Muslim, Imam An-Nasa’iy, dll. Penjelasan mengenai di atas sudah cukup untuk memberikan wawasan umum mengenai hadits. Tidak semua hadits memiliki periwayat yang memenuhi syarat, sehingga terbentuklah keshohihan hadits. Maka dari itu, sahabat muslim harus lebih teliti lagi ketika menemukan sebuah hadits, lakukan pemeriksaan apakah hadits tersebut shohih, hasan, atau bahkan dhaif. */sumber
Untukmengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar periwayatan yang tsiqah. 4. Perawinya 'adil. Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang 'adil adalah orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut 'adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan orang yang teledor; (4) mukallaf (balig
5 Lima Syarat Hadis Shahih Berdasarkan kuantitas sanad, hadis dibagi menjadi dua; hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan ditinjau berdasarkan kualitas sanad, hadis dibagi menjadi tiga; hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pada pembahasan berikut ini, kita akan memfokuskan pada penjelasan hadis shahih. Apa itu hadis shahih? Apa saja syaratnya? Secara bahasa, shahih berarti sehat atau lawan dari sakit. Makna ini menjadi makna sebenarnya untuk fisik, namun merupakan majaz untuk hadis. Sementara secara istilah, Hafidz Hasan Al-Mas’udiy Gurus besar Universitas Al-Azhar As-Syarif serta pengarang kitab Minhatu Al-Mughits, menjelaskan hadis shahih dalam kitabnya sebagaimana berikut. مَااتَّصَلَ اِسْنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ضبطا تاما عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَى السَّنَدِ مِنْ غَيْرِشُذُوْذٍ وَلَاعِلَّةٍ قَادِحَةٍ Hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit kuat hafalannya dan dari rawi yabg sekualitas dengannya hingga puncak akhir sanada, terhindar dari syadz kejanggalan dan tidak ada illat cacat yang parah. Berdasarkan istilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut. Pertama, bersambung sanadnya ittishalus sanad. Artinya, tiap-tiap rawi periwayat hadis dari rawi lainnya benar-benar mengambil hadis secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad. Jadi, setiap rangkaian rawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab sejarah para rawi hadis rijal al-hadis. Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya. Kedua, Perawinya Adil di dalam periwayatan. Adil di sini bermakna perawi tersebut Islam, Aqil berfikir sehat, Baligh dewasa, terhindar dari melakukan dosa besar atau dosa-dosa kecil yang terus menerus, terhindar dari hal-hal yang menodai kepribadian. Misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai penutup kepala Ketiga, Dlabith, artinya kuat ingatan. Sedangkan Dlabith ada dua macam; Dlabith Shadri, artinya ingatan rawi benar-benar tersimpan kuat di dalam pikirannya atas apa yang telah ia dengar dan terima, ingatannya tersebut sanggup ia keluarkan kapanpun dan di manapun ia kehendaki Dlabith Kitab, artinya rawi tersebut kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang ia tulis sejak ia mendengar atau menerima hadis. Hal ini berlaku pada zaman pertama periwayatan hadis, untuk zaman sekarang cukup berdasar pada naskah-naskah yang telah disepakati dan telah disahihkan Keempat, Tidak terdapat kejanggalan. Maksudnya Periwayatan seorang rawi yang dikatakan tsiqah dipercaya berbeda dengan periwayatan banyak rawi lainnya yang juga tsiqah dipercaya, sebab ditambah atau dikurangi sanad maupun matannya Kelima, Tidak adanya kecacatan. Yaitu cacat yang berada pada hadis, di mana secara dlahir hadis tersebut dapat diterima, akan tetapi setelah diselidiki secara mendalam dan dengan seksama jalur periwayatannya mengandung cacat yang menyebabkan hadis itu ditolak. Mislanya hadis mursal atau munqathi’ akan tetapi diriwayatkan secara muttashil. العمدة Khoirul Anam KN
4 Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. C. Cara Menerima Dan Menyampaikan Riwayat. Yang dimaksud dengan "jalan menerima hadits" (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara.

Ilustrasi Pengertian Hadits Menurut Bahasa dan Istilah. Foto PexelsHadits merupakan sumber ajaran berasal dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat agama hadist dalam kehidupan sehari-hari sunah hukumnya bagi setiap umat muslim. Sebab, hadits dijadikan sumber hukum Islam kedua setelah Al memiliki peranan penting dalam Islam. Hadits berfungsi menjelaskan apa yang dimaksud dalam Al Quran. Untuk memahaminya lebih lanjut, yuk simak pengertian hadits menurut bahasa dan istilah berikut Pengertian Hadits Menurut BahasaIlustrasi Pengertian Hadits Menurut Bahasa dan Istilah. Foto PexelsMengutip buku Hadits Nabi dari Masa ke Masa oleh Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib, pengertian hadits menurut bahasa adalah sesuatu yang baru atau berita, sedikit ataupun laman Kemenag, hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang arti lain, hadist menurut bahasa adalah sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang ke orang lainMemahami Pengertian Hadits Menurut IstilahIlustrasi Pengertian Hadits Menurut Bahasa dan Istilah. Foto PexelsDikutip dari buku Memahami Ilmu Hadis oleh Asep Herdi, pengertian hadits menurut istilah adalah perkataan Nabi qauliyah, perbuatan Nabi fi’liyah dan segala keadaan Nabi ahwaliyah.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian hadits adalah sabda, perbuatan, taqrir ketetapan Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menetapkan hukum laman Kemenag, hadist menurut istilah syara’ adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik ucapan, perbuatan, atau pengakuan. Berikut ini penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan Qauliyah ucapan yaitu hadits-hadits Rasulullah yang diucapkan untuk berbagai tujuan dan persuaian situasi.Hadits Fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti mengerjakan solat lima waktu dengan tata cara beserta Taqririyah yakni perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan itu bentuk ucapan atau perbuatan. Ikrar yang dimaksud bisa dengan cara mendiamkannya atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu sehingga dianggap sebagai HaditsIlustrasi fungsi hadits. Foto PexelsHadits berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah dan perilaku sehari-hari. Fungsi hadits lainnya di antaranyaMenjelaskan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an. Hadits membantu untuk memahami ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dengan lebih rinci dan teladan Nabi Muhammad SAW. Hadits adalah kumpulan perkataan, perbuatan, dan sikap Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti teladan beliau, umat Islam dapat memperbaiki akhlak, perilaku, dan ibadahnya, serta meningkatkan kualitas hidupnya di dunia dan kesinambungan ajaran Islam. Hadits merupakan warisan dari generasi terdahulu yang diwariskan secara turun temurun hingga sampai kepada umat Islam saat keimanan. Hadits membantu umat Islam memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah kesatuan dan persatuan umat Islam Hadits memiliki peran penting dalam mempersatukan umat Islam dan menghindari itu hadits Qauliyah?Apa itu hadits Fi’liyah?Apa arti hadits Taqririyah?

Berdasarkanistilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut. Pertama , bersambung sanadnya (ittishalus sanad). Artinya, tiap-tiap rawi (periwayat hadis) dari rawi lainnya benar-benar mengambil (hadis) secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad.

Jakarta - Dalam syariat Islam, penyembelihan hewan kurban memiliki aturan-aturan tertentu yang wajib dipatuhi. Termasuk waktu penyembelihan hewan kurban. Berikut penjelasan kapan tepatnya batas waktu penyembelihan hewan kurban berdasarkan dari buku Modul Fikih Ibadah susunan Rosidin, waktu penyembelihan kurban yang paling baik adalah hari pertama sesudah sholat Idul Adha hingga matahari terbenam di akhir hari Tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah. Hal ini didasari oleh hadits riwayat al-Barra' ibn 'Azib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda"Sesungguhnya permulaan sesuatu yang kami lakukan pada hari ini Idul Adha adalah sholat kemudian pulang; setelah itu menyembelih kurban. Barangsiapa melakukannya, maka dia telah mendapatkan kesunahan; dan barangsiapa menyembelih kurban sebelum itu, maka sembelihannya itu hanyalah daging yang dihidangkan untuk keluarganya dan sama sekali bukan termasuk binatang kurban." HR Bukhari. Adapun dalam riwayat lainnya Jubair ibn Muth'im RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda "... dalam seluruh hari Tasyriq merupakan waktu diperbolehkan menyembelih hewan kurban" HR Ibnu Hibban.Berdasarkan hadits tersebut, dapat diketahui bahwa menyembelih hewan kurban mendahului waktunya bukan berarti buruk atau terlarang. Namun, perlu dipahami jika daging yang disembelih bukan pada waktu sesuai yang disyariatkan adalah sedekah biasa dan pahala yang didapat adalah pahala bersedekah, bukan pahala karena itu, batas awal penyembelihan hewan kurban adalah pada hari pertama Idul Adha tepatnya setelah melaksanakan sholat Idul Adha. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah sholat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam." HR Bukhari dan Muslim.Adapun bagi yang sudah terlanjur melaksanakan kurban sebelum sholat Id, dikutip dari buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 oleh Ibnu Rusyd, disebutkan dalam salah satu versi riwayat dalam hadits Abu Burdah bin Nayyar, "Sesungguhnya ia pernah menyembelih kurban sebelum sholat Idul Adha, lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengulangi."Ulama-ulama yang menganggap hadits tersebut sebagai ketentuan, termasuk Imam Muslim, mengatakan bahwa tidak boleh menyembelih kurban mendahului sang imam. Oleh karena itu, umat muslim perlu hati-hati sebelum benar-benar melaksanakan penyembelihan yang perlu diketahui adalah makruh hukumnya menyembelih hewan kurban pada malam hari. Meskipun tetap sah, dikhawatirkan akan membahayakan jika melakukan kesalahan dalam penyembelihan. Dikhawatirkan juga jumlah orang-orang fakir yang datang ke tempat penyembelihan lebih sedikit jika dibandingkan penyembelihan dilakukan pada waktu siang apabila masih dilakukan dalam rentang waktu 11-13 Dzulhijjah, penyembelihan kurban tersebut akan terhitung sah dengan pahala kurban. Namun, apabila penyembelihannya setelah matahari terbenam pada tanggal 13 Dzulhijjah, hukumnya tidak sah sebagai kurban. Jadi, batas akhir penyembelihan hewan kurban adalah hari terakhir pada hari dalam buku Cara Berkurban karya Abdul Muta"al Al-Jabry, Ali RA, Imam Syafi'i, Atha', dan Al Hasan berdasarkan hadits Jubair bin Muth'im mengatakan bahwa Rasulullah bersabda "Semua hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan kurban," dan dalam hadits lainnya disebutkan, "Seluruh hari Mina adalah waktu penyembelihan." HR Ahmad dan Daruquthni, juga Ibnu Hibban dan Baihaqi.Sebagaimana dengan hari raya lainnya yakni Idul Fitri, penyembelihan kurban yang termasuk ke dalam satu rangkaian ibadah juga tidak dapat dilaksanakan kecuali pada hari atau waktu yang telah ditentukan. Sebab, kurban adalah esensi utama dari hari raya Idul Adha. Pendapat ini disepakati oleh Sa'id bin Jubair dari Jabir bin penjelasan lengkap terkait kapan tepatnya batas awal dan akhir dari waktu penyembelihan hewan kurban sesuai dengan syariat Islam dan bersumber dari hadits nabi. Jangan sampai lupa, ya! Simak Video "Jelang Idul Adha, Penjualan Hewan Kurban di Bandung Meningkat" [GambasVideo 20detik] dvs/dvs

Seorangperawi hadits disebut sebagai tidak dhabith, apabila dia diindikasikan bersifat salah satu dari keadaan berikut: 1. Sering salah yang parah (fahsyul ghalath) 2. Lemah hafalan (su'ul hifzh) 3. Pelupa (ghuflah) 4. Banyak salah sambung (katsratul awham) 5. Bertentangan dengan yang lebih tsiqah (mukhalafatuts tsiqat) ***

Kriteria-kriteria Hadits Shahih Syarah Mandzumah al Baiquniyah Dalam matan Baiquniyah أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat penyakit. ٤ – يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh dalam periwayatan mendapatkan khabar dari orang yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan Penjelasan al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyebutkan kriteria atau persyaratan hadits shahih ada 5, yaitu Sanadnya bersambung. Para perawinya adil. Para perawinya kokoh dalam periwayatan dhobth. Tidak syadz Tidak memiliki illat penyakit/ cacat yang tercela Masing-masing poin itu akan dijelaskan secara lebih mendetail 1. SANADNYA BERSAMBUNG Salah satu kriteria suatu hadits dikatakan shahih adalah jika sanadnya bersambung. Masing-masing perawi benar-benar mendengar langsung dari perawi di atasnya. Berikut ini adalah contoh hadits dalam Shahih al-Bukhari yang menunjukkan sanadnya bersambung. Al-Imam al-Bukhari menyatakan حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ طَهْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ نَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَأَطْعَمَ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ خُبْزًا وَلَحْمًا وَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ تَقُولُ إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِي فِي السَّمَاءِ Telah menceritakan kepada kami Khollaad bin Yahya ia berkata telah menceritakan kepada kami Isa bin Thohmaan, ia berkata Aku mendengar Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- berkata Ayat perintah Hijab turun terkait dengan Zainab bintu Jahsy. Pada saat itu Nabi memberikan makan kepada tamu undangan berupa roti dan daging kambing. Zainab berbangga di hadapan para istri Nabi shollallahu alaihi wasallam yang lain. Zainab berkata Sesungguhnya Allah menikahkan aku dari atas langit al-Bukhari. Sanad dalam hadits itu terdapat perawi dari al-Imam al-Bukhari sampai Anas bin Malik adalah Khollaad bin Yahya, Isa bin Thohmaan, dan Anas bin Malik. Al-Imam al-Bukhari mendengar langsung dari Khollaad bin Yahya. Khollaad bin Yahya mendengar langsung dari Isa bin Thohmaan. Isa bin Thohmaan mendengar langsung dari Anas bin Malik. Jika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits, akan bisa dipastikan bahwa masing-masing perawi itu memang benar-benar pernah mendengar hadits berguru pada perawi yang setingkat di atasnya. Shighotut Tahammul Dalam penyampaian hadits, seseorang perawi akan mengungkapkan bagaimana perawi yang satu tingkat di atasnya menyampaikan hadits itu kepada dia. Cara pengungkapan tersebut dinamakan shighotut tahammul. Ada beberapa contoh shighotut tahammul yang mengisyaratkan ketersambungan sanad, di antaranya adalah حَدَّثَنَا telah menceritakan kepada kami أَخْبَرَنَا telah mengkhabarkan kepada kami سَمِعْتُ saya mendengar حَدَّثَنِي telah menceritakan kepadaku أَنْبَأَنَا telah memberitahukan kepada kami Ungkapan-ungkapan ini adalah beberapa contoh shighotut tahammul yang menunjukkan bahwa perawi itu benar-benar mendengar langsung dari perawi yang setingkat di atasnya. Berbeda dengan penggunaan shighotut tahammul seperti عَنْ dari Penggunaan kata an dari sebagai pengungkapan bagaimana suatu perawi menerima hadits itu, tidaklah secara tegas memastikan bahwa perawi itu benar-benar mendengar langsung dari perawi yang setingkat di atasnya. Penggunaan shighotut tahammul an disebut juga periwayatan an-anah atau mu’an-an. Perhatikan perbedaan penggunaan shigotut tahammul berikut ini dalam contoh yang berbeda. Contoh pertama الزُّهْرِي حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ Az-Zuhriy berkata telah menceritakan kepada kami Said bin al-Musayyab Contoh kedua الزُّهْرِي عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ Az-Zuhriy dari Said bin al-Musayyab Contoh pertama menunjukkan bahwa az-Zuhriy mendengar hadits itu langsung dari Said bin al-Musayyab. Sedangkan contoh kedua adalah riwayat an-anah atau mu’an-an, yang tidak menunjukkan secara tegas bahwa az-Zuhriy menerima hadits itu langsung dari Said bin al-Musayyab. Bisa juga az-Zuhriy mendengar dari orang lain yang orang itu mendengar dari Said bin al-Musayyab. ✅ Beberapa Kondisi Tidak Bersambungnya Sanad Jika sanadnya tidak bersambung, riwayat itu lemah, tidak shahih. Ada beberapa keadaan sanad yang terputus atau tidak bersambung, yaitu Munqothi’ terputus pada bagian manapun dalam sanad. Berapapun jumlah perawi yang terputus. Mursal, terputus pada perawi Sahabat. Dari seorang Tabi’i murid Sahabat Nabi langsung menisbatkan hadits pada Nabi. Mu’dhol, terputus pada 2 atau lebih perawi secara berurutan. Mu’allaq, terputus di awal sanad Mudallas, tidak meyakinkan sebagai sanad yang bersambung karena perawinya suka menyamarkan keadaan perawi lain. Kelima istilah tersebut akan dibahas pada bagian tersendiri dalam penjelasan Mandzhumah al-Baiquniyyah ini, insyaallah beserta contoh-contohnya. Ada pula hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali. Hadits ini masuk kategori Laa Ashla Lahu tidak ada asalnya. Lebih parah kondisinya dibandingkan hadits lemah yang bersanad. Contoh hadits yang Laa Ashla Lahu karena tidak memiliki sanad riwayat, adalah Hendaknya kalian berpegang teguh dengan agamanya para wanita-wanita tua Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghozaliy Para Ulama menilai hadits ini sebagai hadits yang tidak asalnya. Di antara Ulama yang menilai demikian adalah Tajuddin as-Subkiy dan as-Sakhawiy. Tajuddin as-Subkiy meneliti kitab Ihyaa’ Ulumuddin karya al-Imam al-Ghozali dan mengumpulkan hadits-hadits yang beliau tidak menemukan sanadnya. Beliau sendirikan kumpulan hadits itu dalam bagian tersendiri pada kitab Thobaqoot asy-Syafiiyyah al-Kubro. Sedangkan as-Sakhowiy menilai hadits itu tidak memiliki sanad di dalam kitab al-Maqooshidul Hasanah. Baik Tajuddin as-Subkiy maupun as-Sakhowiy adalah Ulama Syafiyyah. ✅ Silsilah Sanad Paling Shahih Di antara sanad-sanad yang shahih, para Ulama ada yang menyebutkan tentang silsilah sanad paling shahih. Menurut al-Imam al-Bukhari, silsilah sanad paling shahih adalah Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Berikut ini adalah contoh hadits yang berisi sanad paling shahih menurut al-Bukhari عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي تَفُوتُهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ Dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Orang yang terlewatkan dari sholat Ashar bagaikan orang yang kehilangan keluarga dan hartanya Muwaththa’ al-Imam Malik, juga dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Sedangkan menurut al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih, silsilah sanad yang paling shahih adalah az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya, yaitu Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Contoh hadits yang sanadnya melalui jalur tersebut adalah حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلَا يَمْنَعْهَا al-Imam al-Bukhari menyatakan telah menceritakan kepada kami Musaddad ia berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Ma’mar dari az-Zuhriy dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shollallahu alaihi wasallam Jika seorang wanita istri meminta ijin kepada kalian untuk sholat di masjid, janganlah melarangnya al-Bukhari dalam Shahihnya 2. PERAWI ADIL DAN 3. KOKOH DHOBITH Salah satu syarat hadits dikatakan shahih adalah jika semua perawinya adil dan kokoh dhobith dalam meriwayatkan. Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh dalam periwayatan mendapatkan khabar dari orang yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan Mandzhumah al-Baiquniyyah Adil artinya lebih dominan kebaikan dibandingkan keburukannya, juga menghindari dosa-dosa besar maupun kebid’ahan. Sedangkan dhobith artinya kokoh dalam meriwayatkan, baik secara hafalan atau tulisan. Benar saat menerima riwayat dan tepat pula saat menyampaikan riwayat. Jika seorang perawi memenuhi kriteria adil dan kokoh dhobit, disederhanakan penyebutannya menjadi tsiqoh. Perawi yang tsiqoh artinya dia adil dan kokoh dalam periwayatan. Ada beberapa kondisi perawi yang tidak memenuhi adil dan dhobith, di antaranya 1. Tidak dikenal. Kondisi perawi yang tidak dikenal, di antaranya adalah a. Mubham, tidak diketahui nama perawinya. b. Majhul tidak dikenal. Bisa berupa majhul ain atau majhul haal. Majhul ain artinya tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu perawi saja definisi al-’Iraqiy. Sedangkan majhul haal setidaknya ada 2 adil yang meriwayatkan darinya, tapi kondisi perawi itu apakah ada jarh celaan atau ta’dil pujian tidak diketahui. 2. Perawi tidak adil, misalkan karena kefasikan suka mencuri, minum khamr, dan sebagainya, atau berpemikiran bid’ah khawarij, qodariy, dan sebagainya. 3. Perawi tidak dhobith, misalkan karena lemah dalam hafalan atau sering salah dalam periwayatannya. 4. Perawi mudallis Perawi tersebut suka menyamarkan kondisi perawi di atasnya. Dalam riwayat mu’an-’an bisa ternilai sebagai riwayat yang sanadnya tidak bersambung. Berikut ini adalah contoh hadits yang lemah karena perawi yang mubham Hadits dalam Sunan Abi Dawud حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي ِإسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ سَمِعْتُ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ { وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ } فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا { أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ } فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِين… Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad az-Zuhriy ia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan ia berkata telah menceritakan kepadaku Ismail bin Umayyah ia berkata aku mendengar seorang Badui pedalaman berkata Aku mendengar Abu Hurairah berkata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Barangsiapa yang membaca wattiini waz zaytuun kemudian sampai pada akhirnya kalimat alaysallaahu bi ahkamil haaakimiin, hendaknya ia mengucapkan Balaa wa ana minasy syaahidiin…. Abu Dawud. Di dalam sanad hadits itu terdapat seorang yang tidak diketahui dengan jelas siapa namanya, sehingga tidak diketahui pula siapa orangnya. Hanya disebut seorang Badui yang mengaku mendengar dari Abu Hurairah. Contoh lain hadits yang tidak memenuhi kriteria perawinya semua adil dan dhobith adalah hadits berikut ini, yaitu hadits yang mengandung perawi yang lemah tidak dhobith dan majhul tidak dikenal. Hadits Ali tentang bersedekap di bawah pusar saat sholat dalam Sunan Abi Dawud حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ زِيَادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ Abu Dawud as-Sijistaniy menyatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mahbuub ia berkata telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats dari Abdurrahman bin Ishaq dari Ziyaad bin Zaid dari Abu Juhaifah bahwasanya Ali radhiyallahu anhu berkata Termasuk Sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam sholat di bawah pusar Abu Dawud Abdurrahman bin Ishaq al-Waasithiy lemah. Sedangkan Ziyaad bin Zaid majhul menurut adz-Dzahabiy dalam Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal. ✅ Kitab Referensi Biografi para Perawi Hadits Para Ulama menulis karya-karya yang berisikan biografi taraajum para perawi hadits. Kitab tersebut ada yang mengkhususkan pada perawi yang terpercaya tsiqoh saja. Ada pula yang hanya berisikan perawi lemah dan yang ditinggalkan periwayatannya. Ada pula yang berisi kumpulan perawi baik yang lemah maupun yang terpercaya. Berikut ini akan ditampilkan beberapa di antara karya para Ulama tersebut berdasarkan klasifikasi masing-masing. ☑ Kitab biografi para perawi hadits khusus untuk yang terpercaya saja ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban. Ma’rifatus Tsiqoot karya Ahmad bin Abdillah bin Sholih Abul Hasan al-Ijliy ☑ Kitab biografi para perawi hadits yang lemah dan ditinggalkan periwayatannya adh-Dhu’afaa’ al-Kabiir karya al-Uqailiy. adh-Dhu’afaa’ ash-Shoghir karya al-Bukhari. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauziy. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya anNasaai. adh-Dhu’afaa’ karya Abu Nuaim al-Ashbahaaniy. al-Majruuhiin karya Ibnu Hibban. al-Mughniy fid Dhu’afaa’ karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy. ☑ Kitab biografi para perawi hadits baik yang terpercaya maupun tidak al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim. Tahdziibul Kamaal karya Yusuf bin az-Zakiy Abdurrahman Abul Hajjaaj al-Mizziy. Taqriibut Tahdziib karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolaaniy. Miizaanul I’tidaal fii Naqdir Rijaal karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy. atTaariikh al-Kabiir karya al-Bukhariy. 4. TIDAK SYADZ Salah satu kriteria agar suatu hadits disebut sebagai hadits yang shahih dan bisa diterima adalah tidak syadz. Artinya, riwayat itu tidak menyelisihi riwayat lain yang perawinya lebih tsiqoh atau lebih banyak. Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan tentang kriteria hadits shahih أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat penyakit Mandzhumah al-Baiquniyyah Kita ambil contoh periwayatan dalam penyampaian berita pada kejadian sehari-hari. Seorang guru menyampaikan informasi pada murid-muridnya. Ada sepuluh siswa yang mendengar informasi langsung dari gurunya. Gurunya berharap, sepuluh siswa itu nanti meneruskan informasi itu kepada rekan-rekannya sesama siswa yang lain. Kesepuluh siswa ini adalah tsiqoh. Informasi yang disampaikan oleh guru adalah besok kita akan melakukan rihlah perjalanan ke pantai. Namun, satu siswa yang bernama Ahmad mengaku bahwa guru menyampaikan informasi bahwa besok kita akan melakukan rihlah perjalanan ke gunung. Informasi yang ditangkap dan disampaikan Ahmad itu berbeda dengan kesembilan rekannya yang lain. Informasi yang disampaikan oleh Ahmad itu lemah, meski Ahmad adalah perawi yang tsiqoh, karena periwayatannya dalam berita itu syadz, menyelisihi periwayatan dari para perawi lain yang lebih tsiqoh atau lebih banyak jumlahnya, yang juga tsiqoh. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan إِنَّمَا الشَّاذُ مِنَ الْحَدِيْثِ أَنْ يَرْوِيَ الثِّقَاتُ حَدِيْثاً ، فَيَشُذَّ عَنْهُمْ وَاحِدٌ ، فَيُخَالِفَهُمْ Riwayat syadz dalam hadits adalah jika para perawi yang tsiqoh meriwayatkan hadits. Namun ada satu yang menyelisihi riwayat mereka al-Kifaayah fii ilmir Riwaayah karya al-Khothib 1/141 Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy berkata الشَّاذُ مَا رَوَاهُ الْمَقْبُوْلُ مُخَالِفاً لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ Syadz adalah apa yang diriwayatkan oleh orang yang diterima periwayatannya namun menyelisihi periwayatan dari orang yang lebih utama dibandingkan dia Nuzhatun Nadzhor fii taudhiih Nukhbatil Fikar 1/213 ✅ Contoh Hadits Syadz Berikut ini akan disebutkan sebuah contoh hadits syadz. Hadits itu tentang sholat Isya yang dilakukan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ada 4 jalur periwayatan. Tiga jalur periwayatan menjelaskan bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam sholat Isya menjelang tengah malam. Sedangkan 1 jalur periwayatan menjelaskan bahwa beliau melakukannya setelah lewat tengah malam. Satu jalur periwayatan ini syadz, sehingga lemah. Hadits tersebut ada dalam musnad atThoyaalisi, sebagai berikut حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ حَدَّثَنَا قُرَّةُ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ نَظَرْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْعِشَاءِ حَتَّى مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى بِنَا كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ خَاتِمِهِ مِنْ فِضَّةٍ فِي يَدِهِ Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud at Thoyaalisiy ia berkata telah menceritakan kepada kami Qurrah dari Qotadah dari Anas ia berkata Kami melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam di waktu Isya hingga telah berlalu setengah malam. Kemudian beliau keluar sholat bersama kami. Seakan-akan aku melihat pada kilauan cincin beliau yang terbuat dari perak pada tangan beliau Abu Dawud atThoyaalisiy dalam Musnadnya Sekalipun jalur riwayat ini para perawinya tsiqoh semua dan sanadnya bersambung, namun riwayat ini menyelisihi riwayat lain yang juga tsiqoh dengan sanad bersambung. Setidaknya ada 3 jalur periwayatan yang berbeda dengan 1 riwayat itu. Riwayat pertama Jalur riwayat dari Said bin ar Robi’ dari Qurrah dari Qotadah dari Anas bin Malik حَتَّى كَانَ قَرِيبٌ مِنْ نِصْفِ اللَّيْلِ Hingga mendekati setengah malam Muslim Riwayat kedua Jalur riwayat dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bin Malik إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ أَوْ كَادَ يَذْهَبُ شَطْرُ اللَّيْلِ Menuju pertengahan malam atau hampir berlalu setengah malam Muslim Riwayat ketiga Jalur riwayat dari Kholid bin al-Harits dari Humaid dari Anas bin Malik إِلَى قَرِيبٍ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ Hingga mendekati pertengahan malam anNasaai dan Ibnu Majah Hal ini menunjukkan bahwasanya riwayat Abu Dawud atThoyaalisiy tersebut lemah karena syadz, menyelisihi setidaknya 3 jalur lain yang sanadnya shahih. Perlu diketahui bahwasanya Abu Dawud atThoyaalisiy adalah Ulama yang berbeda dengan Abu Dawud as-Sijistaaniy penyusun Sunan Abi Dawud. Dari pemaparan tersebut kita mengetahui bahwasanya untuk menilai suatu hadits itu shahih atau tidak, kita tidak bisa berpatokan pada satu jalur riwayat saja. Jangan terburu-buru menilai suatu hadits shahih, sampai terkumpul semua riwayat yang berkaitan dengan itu. Mungkin saja suatu jalur riwayat sanadnya shahih, namun periwayatan itu menyelisihi jalur lain yang lebih shahih sehingga hukumnya adalah hadits syadz, yang masuk kategori lemah. Karena itu, penilaian shahih tidaknya suatu hadits semestinya dilakukan oleh Ulama pakar hadits. Terkait pelaksanaan sholat Isya, waktu terakhir adalah pada tengah malam. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ Waktu sholat Isya hingga tengah malam Muslim Sebagai contoh, jika Maghrib adalah jam WIB dan Subuh pada WIB, maka rentang waktu malam adalah 10 jam. Jadi, waktu Isya berakhir pada 5 jam setelah Maghrib, yaitu jam WIB. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk tidak lalai dari sholat Isya’ jangan sampai melakukannya hingga lewat tengah malam أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ…وَأَنْ صَلِّ الْعِشَاءَ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ ثُلُثِ اللَّيْلِ فَإِنْ أَخَّرْتَ فَإِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين Bahwa Umar bin al-Khoththob menulis kepada Abu Musa al-Asy’ariy…Sholatlah Isya’ pada sepertiga malam pertama. Jika engkau mau mengakhirkan, silakan lakukan hingga pertengahan malam, jangan termasuk orang yang lalai Malik, Abdurrozzaq, al-Baihaqy, Syaikh al-Albaniy menyatakan sanad riwayat ini shahih dalam Tamaamul Minnah 5. TIDAK MEMILIKI ILLAT YANG TERCELA QODIHAH Salah satu persyaratan agar suatu hadits ternilai shahih adalah tidak memiliki illat yang tercela. Illat secara bahasa bermakna penyakit atau cacat. Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat penyakitMandzhumah al-Baiquniyyah Illat itu baru bisa terlihat jika seluruh riwayat yang terkait hadits itu dikumpulkan. Illat suatu hadits tidaklah diketahui kecuali oleh Ulama yang benar-benar pakar dalam ilmu hadits. Adakalanya suatu illat tidak tercela. Hal itu jika tidak berimplikasi pada hukum tertentu. Sebagai contoh, berapakah harga unta Jabir saat dibeli oleh Nabi? Pada beberapa riwayat nampak berbeda-beda. Namun perbedaan itu tidaklah mengapa. Tanpa diketahui secara benar berapa harganya, kita sudah bisa mengambil faidah dari hadits itu baik secara fiqh, adab, dan sebagainya. Contoh lain adalah berapa jumlah istri Nabi Sulaiman saat beliau bersumpah akan menggilir’ istrinya dan lupa mengucapkan insyaallah? Pada riwayat-riwayat yang shahih berbeda-beda. Ada riwayat yang menyatakan 100. Sebagian riwayat ada yang menyatakan 70, ada pula yang 90. Tapi perbedaan ini tidaklah mengapa. Tidak berimplikasi terhadap kandungan pelajaran yang bisa dipetik dari hadits itu. ✅Contoh Hadits yang Memiliki Illat yang Tercela Bagaimana dengan illat yang tercela? Berikut ini kita akan menyimak contoh suatu hadits yang terlihat secara dzhahir sebagai hadits yang shahih, padahal sebenarnya lemah karena adanya illat yang tercela. ☑ Contoh Pertama Hadits yang Memiliki Illat Qodihah Hadits ini adalah hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Hadits tersebut menunjukkan larangan kencing dengan berdiri. …عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَبُلْ قَائِمًا "…dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Janganlah engkau kencing berdiri" Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Secara dzhahir, nampak bahwa sepertinya potongan sanad ini shahih. Ibnu Juraij memang tsiqoh, namun ia tergolong perawi yang mudallis. Riwayat ini pun adalah riwayat mu’an-an, yang menunjukkan bahwa Ibnu Juraij tidak secara tegas menyatakan bahwa ia mendengar hadits itu secara langsung dari Nafi’. Jika dilihat pada jalur riwayat yang lain, ternyata memang Ibnu Juraij tidak mendengar hadits itu langsung dari Nafi’, namun melalui satu perawi yang lain. Sayangnya, perawi itu lemah, yaitu Abdul Karim bin Abi Umayyah. Mari kita lihat riwayat berikut ini حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ يَا عُمَرُ لَا تَبُلْ قَائِمًا .…telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Abdul Karim bin Abi Umayyah dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Umar ia berkata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melihat saat aku kencing berdiri. Nabi bersabda Wahai Umar, janganlah kencing berdiri Ibnu Majah Abdul Karim bin Abi Umayyah dinilai sebagai perawi yang lemah oleh para Ulama, di antaranya Abu Zur’ah. سُئِلَ أَبُوْ زُرْعَةَ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيْمِ بْنِ أَبِى أُمَيَّةَ فَقَالَ هُوَ لَيِّنٌ Abu Zur’ah ditanya tentang Abdul Karim bin Abi Umayyah, dia menjawab Orang tersebut lemah al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar Raaziy nomor perawi 311 6/60. Bahkan, al-Imam Ahmad menilai perawi tersebut menyerupai matruk ditinggalkan periwayatannya. Faidah lain yang bisa ambil dari pemaparan ini adalah bahwa hadits dalam Shahih Ibnu Hibban tidak seluruhnya shahih. ☑ Contoh Kedua Hadits yang Memiliki Illat Qodihah Ada sebuah hadits tentang anjuran mengganti di hari lain bagi seseorang yang membatalkan puasa sunnah. Namun hadits tersebut menurut sebagian para Ulama adalah lemah, karena mengandung illat qodihah. Hadits tersebut ada dalam Muwattha’ Imam Malik sebagai berikut حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ زَوْجَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَتَا صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ لَهُمَا طَعَامٌ فَأَفْطَرَتَا عَلَيْهِ فَدَخَلَ عَلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَالَتْ حَفْصَةُ وَبَدَرَتْنِي بِالْكَلَامِ وَكَانَتْ بِنْتَ أَبِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصْبَحْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ إِلَيْنَا طَعَامٌ فَأَفْطَرْنَا عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِيَا مَكَانَهُ يَوْمًا آخَرَ Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab bahwasanya Aisyah dan Hafshah kedua istri Nabi shollallahu alaihi wasallam pada pagi harinya berpuasa sunnah. Kemudian keduanya diberi hadiah makanan sehingga keduanya berbuka. Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam masuk menemui keduanya. Aisyah berkata Hafshah mendahuluiku dalam berbicara. Ia memang benar-benar putri ayahnya seperti Umar. Hafshah menyatakan Pada pagi hari aku dan Aisyah berpuasa sunnah. Kemudian kami diberi hadiah makanan. Kami pun berbuka membatalkan puasa dengannya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda Gantilah puasa itu di hari lain Malik dalam al-Muwattha’ Hadits ini periwayatannya terputus antara Ibnu Syihab az-Zuhriy dengan Aisyah. Biasanya Ibnu Syihab mendengar hadits dari Aisyah melalui Urwah bin az-Zubair, Abu Salamah, atau Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah. Ada jalur riwayat lain semakna dengan hadits itu yang menunjukkan bahwa Ibnu Syihab az-Zuhriy mendengar hadits itu dari Urwah bin az-Zubair حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ صَائِمَتَيْنِ فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَرَتْنِي إِلَيْهِ حَفْصَةُ وَكَانَتْ ابْنَةَ أَبِيهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا صَائِمَتَيْنِ فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ قَالَ اقْضِيَا يَوْمًا آخَرَ مَكَانَهُ atTirmidzi berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ ia berkata telah menceritakan kepada kami Katsir bin Hisyam ia berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Burqon dari Ibnu Syihab az-Zuhriy dari Urwah dari Aisyah ia berkata Aku dan Hafshah pernah berpuasa. Kemudian kami diberi makanan yang kami senangi. Kami pun memakannya. Kemudian datanglah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Hafshah mendahuluiku dalam menyampaikan kepada Nabi. Ia memang putri ayahnya. Hafshah berkata Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berdua berpuasa, kemudian diberikan kepada kami makanan yang kami inginkan. Kami pun memakannya. Nabi menyatakan Gantilah di hari lain atTirmidzi Jika dilihat sepintas, seakan-akan hadits riwayat Malik itu dikuatkan oleh riwayat atTirmidzi ini. Sanad yang terputus pada riwayat Malik – Ibnu Syihab tidak pernah bertemu dengan Aisyah – seakan-akan terjembatani oleh riwayat atTirmidzi bahwa Ibnu Syihab mendengarnya dari Urwah bin az-Zubair. Namun, nampak jelas pada riwayat lain bahwa Ibnu Syihab mengaku tidak mendengar riwayat itu dari Urwah bin az-Zubair. Ia hanya mendengar dari beberapa orang yang tidak disebut namanya mubham. Mari disimak nukilan riwayat Ibnu Rahawaih berikut ini عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ شِهَابٍ أَحَدَّثَكَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْر عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ ”مَنْ أَفْطَرَ فِي تَطَوُّعٍ ؛ فَلْيَقْضِهِ” ؟ قَالَ لَمْ أَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ فِي ذَلِكَ شَيْئاً ، وَلَكِنِّي سَمِعْتُ فِي خِلَافَةِ سُلَيْمَانَ ابْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ مِنْ نَاسٍ عَنْ بَعْضٍ مِنْ نِسَاءِ عَائِشَةَ أَنَّها َقَالَتْ… Dari Ibnu Juraij ia berkata Aku berkata kepada Ibnu Syihab Apakah Urwah bin az-Zubair meriwayatkan kepada anda dari Aisyah dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda kepada orang yang berbuka dari puasa Sunnah hendaknya ia menggantinya di hari lain? Ibnu Syihab berkata Aku tidak mendengar dari Urwah tentang hal itu. Akan tetapi aku mendengar pada masa kekhalifahan Sulaiman bin Abdil Malik dari seseorang dari sebagian hamba sahaya wanita Aisyah bahwasanya ia berkata…Musnad Ibnu Rahawaih 1/94, dinukil dalam Silsilah al-Ahaadits adh-Dhaifah karya Syaikh al-Albaniy 11/838 Jelaslah bahwa Ibnu Syihab tidak mendengar hadits itu dari Urwah. Tapi mendengar dari beberapa orang yang tidak jelas apakah tsiqoh atau tidak. Hal itu menunjukkan kelemahan riwayat tersebut. Jika ada yang bertanya Mengapa dalam riwayat atTirmidzi dinyatakan bahwa periwayatan Ibnu Syihab itu melalui Urwah? Jawabannya adalah Itu adalah kesalahan Ja’far bin Burqoon. Meski ia adalah perawi yang tsiqoh, namun khusus periwayatan dia dari az-Zuhriy adalah periwayatan yang guncang. Artinya, ia sering salah dalam periwayatan dari az-Zuhriy. Al-Imam adz-Dzahabiy menyatakan جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَان عَنْ مَيْمُوْن بْنِ مِهْرَان قَالَ أَحْمَدُ يُخْطِىءُ فِي حَدِيْثِ الزُّهْرِي Ja’far bin Burqoon periwayatannya biasanya melalui Maimun bin Mihraan. Ahmad bin Hanbal berkata Dia Ja’far bin Burqoon sering salah dalam meriwayatkan hadits az-Zuhriy al-Mughniy fid Dhu’afaa’ 1/131 Al-Imam Ibnu Abi Hatim ar-Raaziy menukil ucapan Ibnu Numair tentang Ja’far bin Burqoon جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَان ثِقَةٌ، أَحَادِيْثُهُ عَنِ الزُّهْرِي مُضْطَرِبَة Ja’far bin Burqoon tsiqoh terpercaya, namun hadits-haditsnya dari az-Zuhriy guncang al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim 1/321. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa keshahihan maupun kelemahan suatu hadits tidaklah bisa dinilai dari satu riwayat saja. Perlu melihat riwayat-riwayat lain. Karena itu para Ulama jika hanya menilai satu riwayat saja, mereka ada yang mengistilahkan dengan sanad hadits ini shahih. Bukan berarti mereka menghukumi bahwa hadits itu shahih. Namun, mereka memastikan penilaian hanya untuk satu riwayat itu saja sanadnya shahih artinya bersambung tidak terputus dan perawinya tsiqoh. Dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah, Abu Utsman Kharisman Sumber

NgCA0.
  • zfuvlb436a.pages.dev/407
  • zfuvlb436a.pages.dev/115
  • zfuvlb436a.pages.dev/162
  • zfuvlb436a.pages.dev/392
  • zfuvlb436a.pages.dev/482
  • zfuvlb436a.pages.dev/389
  • zfuvlb436a.pages.dev/93
  • zfuvlb436a.pages.dev/101
  • berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah